Meskipun Afrika Selatan sempat menjadi topik besar pada tahun 1990 dengan kebijakan Apartheid-nya, dan Nelson Mandela kerap menghiasi halaman koran yang Ayah saya baca setiap pagi, saya sama sekali tidak pernah berpikir bahwa akan ada masa dalam hidup saya, dimana saya tinggal dan hidup di negara ini, untuk waktu yang cukup lama. Pindah ke Pretoria, bukan hanya masalah perpindahan fisik saja, namun juga banyak hal kompleks yang termasuk di dalamnya; berpisah dengan keluarga, jauh dari orang tua, resign dari karir yang sedang dibangun, harus siap untuk tidak diperbolehkan bekerja selama mendampingi di perwakilan,  dan masih banyak lagi. Sejak beberapa bulan sebelum kami berangkat, saya sudah menyusun semacam wishlist, daftar keinginan berisi apa yang ingin saya lakukan selama saya tinggal di Pretoria. Satu hal yang pasti, saya ingin tetap bisa tumbuh dan berkembang, karena hidup harus maju terus kedepan. Jika saya memang tidak diperbolehkan bekerja, yang esensinya adalah menghasilkan uang, logika saya berkata, “Ah, jika begitu, saya masih bisa volunteer atau internship, kan? Toh kedua hal ini tidak akan berbayar”. 

Dengan berbekal keyakinan tadi, berangkatlah saya menuju Pretoria, menyusul suami yang berangkat lebih dulu. Menginjakkan kaki di tanah Afrika Selatan dan disambut dengan udara musim gugur yang sejuk, dan hati yang berdebar-debar karena khawatir dan juga gembira. Khawatir  karena ada terlalu banyak hal yang tidak saya ketahui, dan gembira tak sabar untuk menjelajah sebuah negara baru.

Memang Tuhan Maha Baik, setelah kami pindah ke rumah yang akan kami tempati kami sempat ngobrol dengan sang pemilik rumah atau landlord kami. Dari obrolan inilah akhirnya saya tau bahwa dia, Varsha, bekerja di salah satu NGO internasional di Pretoria, dan telah bekerja di bidang ini cukup lama. Alhamdulillah Varsha sangat baik dan bersahabat, dan dia juga tinggal di kompleks yang sama dengan kami, karena itu kadang dia main kerumah kami, atau saya main kerumahnya, untuk sekedar makan bersama atau bersama  berkeliling kota. 

Dari obrolan kami, akhirnya saya bercerita tentang keinginan saya untuk bisa aktif berkegiatan selama tinggal di Pretoria, entah volunteer atau internship. Dan karena  hati baiknya, Varsha merekomendasikan saya kepada beberapa kawannya yang bekerja dibidang yang sama. Gayung bersambut, salah satu kawan Varsha merespon baik. Namanya Trevor, dia bekerja di SA-EU Dialogue Facilities, dan letak kantornya tidak jauh dari kantor suami di pusat kota. Setelah bertemu dan ngobrol sebentar, Trevor ingin saya segera bergabung, hati saya senang sekali rasanya saat itu.

Saya bertanya kepada suami, apakah saya diperbolehkan untuk bergabung dengan institusi ini? Jawaban suami saya cenderung normatif, menurut dia saya harus meminta izin dulu kepada organisasi Dharma Wanita Persatuan (DWP) dan suami juga akan mencoba bertanya kepada rekannya. Dari situ didapatlah saran, bahwa saya harus membawa surat yang menyatakan bahwa kegiatan ini adalah kegiatan volunteer yang sifatnya tidak berbayar. Mendengar hal tersebut, Trevor kemudian mencoba membuatkan surat yang saya butuhkan, dan voila, dua hari kemudian surat tersebut pun sudah ada di tangan.

Harap-harap cemas saya sampaikan surat tersebut, kepada DWP dan juga kepada suami saya, agar disampaikan kepada atasan tertinggi di kantor. Setelah menunggu selama beberapa waktu, belum ada jawaban. Kami bertanya-tanya. Namun suami saya berkata, diam itupun  juga adalah sebuah jawaban. Saya, yang tidak pernah bergabung dengan organisasi DWP sebelumnya, merasa hal ini sangat sulit untuk dapat dipahami. Begitu banyak hal yang masih belum saya mengerti: Sebenarnya DWP itu apa? Tujuannya apa? Bagaimanakah sistem di dalamnya? Apa sebenarnya pakem dan rule books yang harus saya pegang selama mendampingi di perwakilan?

Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian berkembang menjadi banyak pertanyaan lain tentang eksistensi diri, ditambah kekhawatiran akan self-improvement dan bagaimana saya menyesuaikan diri saya setelah kembali lagi ke Indonesia nanti. Pada satu titik, saya sempat merasa sangat lemah, gamang, dan tak berdaya.

Merasa tak punya kendali akan hidup saya sendiri. Merasa putus asa, terputus dari mimpi-mimpi yang membuat saya memiliki semangat hidup selama ini.

Mungkin klise, tapi besar sebagai seorang anak dalam keluarga yang tidak memiliki keleluasaan finansial, ada banyak hal yang terlalu mahal untuk dapat kami miliki. Memiliki mimpi dan kebebasan untuk merangkai dan meraihnya adalah cara kami untuk berjalan maju. Bertahun-tahun begitulah cara hidup yang saya miliki. Ketika hal tersebut tiba-tiba lenyap, betapa tidak berdayanya perasaan saya saat itu.

Sudah dua tahun berlalu sejak perasaan itu muncul pertama kali, lalu apakah saya telah menemukan jawabannya? Dalam dua tahun ini, tentu sudah banyak hal yang terjadi, sangat banyak. Apakah kemudian saya benar menjadi seorang yang tidak berdaya, seperti yang saya rasakan saat itu? Apakah kemudian mimpi-mimpi saya hilang? Apakah kemudian saya berkesempatan untuk bergabung dengan Trevor? Alhamdulilah, saya berkesempatan untuk belajar disana selama lebih dari setengah tahun, sebelum kemudian saya putuskan untuk berhenti. Melihat kebelakang, saya belajar banyak hal. Bahwasanya setiap diri kita akan selalu tumbuh, dan satu hal yang saya lupa, bahwa kita akan tumbuh apabila tidak berada dalam zona nyaman, apabila kita ditantang dengan situasi dan kondisi yang baru. Pencapaian yang kita dapat, mungkin tidak selalu terlihat, dan yang menutupinya bukanlah karena pencapaian itu tidak ada, namun karena kita tidak memberikan ia pengakuan. 

Yang saya pelajari adalah, berada dalam kondisi “dormant”, memberikan saya kesempatan yang sangat besar untuk berpikir ulang dan melihat kembali dengan baik hidup yang telah saya jalani.  Bahwasanya apa yang saya pikirkan sebagai kondisi tidak berdaya, sebenarnya adalah ilusi yang tercipta karena tantangan-tantangan baru yang disodorkan oleh hidup kepada saya.

Saat ini memang saya tidak bekerja, atau internship sesuai rencana awal saya, namun itu bukanlah karena sebuah ketidakberdayaan, melainkan sebuah pilihan.

Saat ini saya banyak menghabiskan waktu saya dengan belajar bahasa asing, menjadi sukarelawan bagi kegiatan kemanusiaan, menulis tentang hal-hal yang saya alami di Afrika Selatan, dan menikmati apa yang hidup tawarkan bagi saya di Afrika Selatan: Berjalan-jalan santai di belakang rumah kemudian berpapasan dengan gerombolan zebra atau wilderbeest, bukan hal yang bisa saya temui ketika kembali ke Indonesia nanti, kan?

Menjadi bagian dari support system suami di sebuah perwakilan, dengan kebudayaan baru, lingkungan hidup yang baru, dengan segala kelebihan maupun keterbatasannya, adalah sebuah pengalaman hidup yang luar biasa bagi saya. Belenggu itu telah lepas, dan meskipun berada dalam keterbatasan, sejatinya saya adalah seorang yang bebas. 

Kontibutor: Arum Wijayanti

Leave a comment